Aspek Hukum dalam Ekonomi
HUKUM PRIKATAN ISLAM
Dalam hukum Islam, perikatan disebut iltizam.
Menurut istilah fiqh, perikatan (iltizam) ini didefinisikan
sebagai: “Suatu tindakan yang meliputi: pemunculan, pemindahan, dan pelaksanaan
hak.” Definisi perikatan ini sejalan dengan pengertian akad (perjanjian) dalam
arti umumnya selain juga tercakup kedalamnya pengerian tasaruf dan
kehendak pribadi. Perikatan dapat muncul dari perseorangan (seperti wakaf,
wasiat, dll.), maupun dari dua belah pihak (sepert jual-beli, ijarah,
dll).
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, perikatan dalam
perspektif UU Islam (qanun) didefinisikan sebagai: “Keadaan tertentu
seseorang yang ditetapkan syari’ah untuk dilakukan atau tidak dilakukan demi
mewujudkan kemaslahatan pihak lain.”
Unsur-unsur pembentuk perikatan dalam
perspektif fiqhadalah:
- Multazam Iah yaitu orang yang berhak atas suatu prestasi.
- Multazim, yaitu orang yang berkewajiban memenuhi suatu prestasi.
- Mahal al-iltizam, atau obyek perikatan
- Perbuatan
yang dituntut untuk mewujudkan perikatan.
- Iltizam atau perikatan itu sendiri.
Sesuatu atau peristiwa yang menimbulkan
terjadinya perikatan disebut sebagi sumber perikatan (masdar al-iltizam).
Sumber-sumber perikatan tersebut dalam hukum Islam adalah: akad, kehendak
pribadi, perbuatan melawan hukum, perbuatan sesuai hukum, dan syari’ah.
Macam-macam sumber perikatan tersebut pada hakikatnya dapat dikelompokkan
menjadi tiga macam yaitu: akad, Undang-undang (qanun), dan kehendak
perorangan.
Contoh Kasus
Seorang
yang saling mencintai dan suatu hari nanti dia akan menikah dengan mempelai nya.
Agar sahih (sah) maka kedua mempelai harus menjalani akad nikah dimana, keduanya
akan berjanji untuk saling menyayangi. Akad di agama Islam yaitu untuk
mempersetujui keduanya satu sama lain dan tidak akan berpisah, Akad ini
didampingi oleh pendamping untuk menjadi saksi perjanjian akad tersebut, agar
berjalan dengan sah. Sebagaimana
telah disebutkan di atas, perjanjian (akad) merupakan sumber perikatan.Dengan
terjadinya akad maka akan menimbulkan konsekwensi pada pihak-pihak yang
terlibat dalam akad tersebut, yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban. Jadi
substansi akad adalah perikatan antara ijab dan qabul dengan
cara yang dibenarkan syara’, yang menimbulkan akibat-akibat hukum
berupa hak dan kewajiban.
Ditinjau dari segi sifat dan
hukumnya, akad dibagi menjadi: akad sahih dan tidak sahih. Akad sahih adalah
akad yang unsur-unsur pokok(rukun) nya tidak bercacat, baik substansi maupun
sifatnya. MenurutJumhur, lawan dari akad sahih adalah akad batilatau
tidak sah. Baik karena ada cacat dalam rukun juga sifatnya. Sedangkan menurut
Hanafiyah, membagi akad yang bercacat ini dengan batil (tidak
sah) apabila terdapat cacat pada rukun, Sedangkan bila cacat terdapat pada
selain rukun maka termasuk akad yang fasid tetapi termasuk
sah.
Akad sahih dapat dikategorikan
menjadi akad nafiz( apabila akibat-akibat hukumnya terjadi
semata-mata karena adanya akad tanpa bergantung pada pihak lain), dan akad mauquf(apabila
akibat hukumnya terhalang untuk dilaksanakan baik karena adanya unsur
keterpaksaan maupun berkaitan dengan hak orang lain).
Dari segi sighat, akad dapat
dibagi menjadi:
1. Akad munjaz, yaitu akad yang
mempunyai akibat hukum seketika itu setelah terjadinya ijab dan qabul.
2. Akad bersyarat, yaitu akad yang digantungkan
kepada syarat tertentu, akibat hukumnya dipandang baru terjadi apabila syarat
tersebut terpenuhi.
Akad yang bersandar pada waktu yang akan dating
:
1. Akad fauri dan mustamir. Akad fauri adalah
apabila akibat hukum akad dapat dilaksanakan dengan segera setelah terjadinya
akad, atau tujuan akad telah tercapai setelah terjadinya ijab dan qabul seperti
akad jual beli barang tunai. Sedangkan akadmustamir pelaksanaannya
memerlukan waktu panjang setelah terjadinya akad.
0 komentar:
Posting Komentar